Global warming bukan hal yang asing lagi bagi kita dan merupakan isu yang dapat membuka mata semua penghuni bumi untuk lebih memerhatikan tempat tinggalnya, mungkin termasuk kita. Dalam hal ini, isu global warming tak hanya berkutat soal ilmiah, ia juga bermain di segi ekonomi, sosiologi, geopolitik, sampai gaya hidup. Sayangnya, walau telah dideteksi sejak awal, isu ini baru mendapat coverage luas di tahun 1990-an. Di Inggris, The Times dan Guardian membahas soal ini baru sejak tahun 1989–tetapi masih berkutat soal perdebatan ilmiah.
Lalu apa kaitannya global warming dengan vegetarian? Sebelum kita mengetahui kaitan vegetarian dengan pencegahan atau salah satu cara untuk memperkecil kerusakan yang besar, sebaiknya kita ketahui apa itu vegetarian. Istilah Vegetarian sendiri diciptakan pada tahun 1847. Pertama kali digunakan secara formal pada tanggal 30 September tahun itu oleh Joseph Brotherton dan lain-lain, di Northwood Villa, Kent, Inggris. Saat itu adalah pertemuan pengukuhan dari Vegetarian Society Inggris. Kata ini berasal dari bahasa Latin vegetus, yang berarti keseluruhan, sehat, segar, hidup; (jangan dihubungkan dengan ‘vegetable-arian’ – mitos manusia yang diimajinasikan hidup seluruhnya dari sayur-sayuran tetapi tanpa kacang, buah, biji-bijian, dan sebagainya). Sebelum tahun 1847, mereka yang tidak makan daging secara umum dikenal sebagai ‘Pythagorean’ atau mengikuti ‘Sistem Pythagorean’, sesuai dengan Pythagoras ‘vegetarian’ dari Yunani kuno. Definisi asli dari ‘vegetarian’ adalah dengan atau tanpa telur atau produk dairy dan definisi ini masih digunakan oleh Vegetarian Society hingga sekarang. Bagaimanapun juga, kebanyakan vegetarian di India tidak memasukkan telur ke dalam diet mereka, seperti juga mereka dari tanah Mediteranian klasik, sebagai contoh Pythagoras. (Dikutip dari wikipedia)
Vegetarian dan Global Warming
Ternyata, vegetarian bisa membantu kita untuk menyelamatkan bumi ini, walaupun tidak berdampak langsung tetapi setidaknya kita bisa memperlambat kerusakan yang lebih besar. Banyak alasan seseorang menjadi Vegetarian, mulai dari karena ia seorang penyayang binatang (Animal’s Sake), Hidup lebih berwarna seperti sayuran dan bauh-buahan yang warna-warni, ingin hidup/sehat lebih lama, berat badannya stabil, hemat dan itu adalah manfaat yang dapat segera dirasaka oleh Vegetarian, tapi secara tidak langsung seorang vegetarian juga ikut mencegah pemanasan global. Mungkin diantara kita ada yang berpikir kenapa demikian, mengapa Vegetarian dapat mencegah pemanasan global? Bukankah Vegetarian suka makan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, yang juga berarti merusak tanaman yang akhirnya menyebabakan global warming. Pertanyaaan dan pertanyaan yang terdengar dilematis tetapi ternyata tidak, bahkan dari pernyataan dan pertanyaan tersebut kita bisa menegaskan kalau vegetarian dapat mencegah pemanasan global.
Berdasarkan fakta yang diungkap FAO tahun 2006 menjelaskan bahwa daging merupakan komoditi penghasil emisi karbondioksida paling tinggi (20%). Ini bahkan melampaui jumlah emisi gabungan dari semua kendaraan di dunia. Karena ternyata industri ternak telah menghasilkan 9% racun karbondioksida, 65% nitrooksida, dan 37% gas metana. Selain itu, industri ternak juga memerlukan banyak energi untuk mengubah ternak menjadi daging siap konsumsi. Untuk memproduksi 1 kg daging saja misalnya, dihasilkan emisi karbondioksida 36,4 kilo.
Selain itu Vegetarian juga dapat menghemat energi, di mana saat ini atau yang akan datang energi menjadi sangat mahal dan semakin banyak energi yang digunakan maka akan juga menyumbang untuk pemanasan global (global warming). Saat ini krisis energi dan pangan merebak ke seantero muka bumi. Salah satunya untuk menghemat energi dengan menjadi vegetarian atau setidaknya kurangi sumber makanan hewani. Seperti dijelaskan di atas, bahan makanan hewani membutuhkan lebih banyak konsumsi energi dalam produksi dan suplainya dibanding makanan nabati. Menurut U.S. Geological Survey, untuk membuat satu tangkup hamburger, misalnya membutuhkan setidaknya 1.300 galon air. Jadi, tidak heran jika produk pangan hewani dan junk food memerlukan lebih banyak energi dibanding dengan mengolah sayuran, buah dan beras.PP
Anda mungkin penasaran bagian mana dari sektor peternakan yang menyumbang emisi gas rumah kaca. Berikut garis besarnya menurut FAO:a. Emisi karbon dari pembuatan pakan ternak: Penggunaan bahan bakar fosil dalam pembuatan pupuk menyumbang 41 juta ton CO2 setiap tahunnya, Penggunaan bahan bakar fosil di peternakan menyumbang 90 juta ton CO2 per tahunnya (misal diesel atau LPG), Alih fungsi lahan yang digunakan untuk peternakan menyumbang 2,4 miliar ton CO2 per tahunnya, termasuk di sini lahan yang diubah untuk merumput ternak, lahan yang diubah untuk menanam kacang kedelai sebagai makanan ternak, atau pembukaan hutan untuk lahan peternakan, Karbon yang terlepas dari pengolahan tanah pertanian untuk pakan ternak (misal jagung, gandum, atau kacang kedelai) dapat mencapai 28 juta CO2 per tahunnya. Perlu Anda ketahui, setidaknya 80% panen kacang kedelai dan 50% panen jagung di dunia digunakan sebagai makanan ternak, karbon yang terlepas dari padang rumput karena terkikis menjadi gurun menyumbang 100 juta ton CO2 per tahunnya 2. Emisi karbon dari sistem pencernaan hewan b. Emisi karbon dari ternak: Metana yang dilepaskan dalam proses pencernaan hewan dapat mencapai 86 juta ton per tahunnya, Metana yang terlepas dari pupuk kotoran hewan dapat mencapai 18 juta ton per tahunnya.
Dari uraian di atas, Anda bisa melihat besaran sumbangan emisi gas rumah kaca yang menjadi penyebab global warming yang dihasilkan dari tiap komponen sektor peternakan. Sekarang giliran kita untuk bisa mengambil sikap untuk menjaga bumi kita tetap baik sampai kepada keturunan kita selanjutnya atau kita hanya menginginkan keturunan kita kelak merasakan hasil dari apa yang telah kita perbuat sebelumnya. Tidak ada salahnya mencoba karena selain tubuh kita bisa sehat, bumi kita juga tetap sehat untuk kita tinggali tanpa harus merasa cemas.