Indonesia merupakan negara sedang berkembang yang memiliki karakteristik laju pertumbuhan ekonomi yang cukup baik dibarengi dengan laju pertumbuhan yang pesat. Peningkatan jumlah penduduk saat ini memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan permintaan (demand) produk pangan masyarakat. Selain itu, perkembangan masyarakat saat ini lebih ke arah yang lebih maju baik dari segi pendapatan maupun tingkat pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya nilai gizi pangan. Hal ini membuat masyarakat cenderung lebih meningkatkan konsumsi pangan yang mengandung gizi tinggi. Salah satu produk pangan yang terus mengalami peningkatan permintaan setiap tahunnya adalah susu. Peningkatan tersebut ditandai dengan meningkatnya konsumsi susu per kapita dari tahun ke tahun, mulai dari 5,79 kg/kapita pada tahun 2001 dan meningkat menjadi 6,8 kg/kapita pada tahun 2005 (Ditjen Bina Produksi Peternakan, 2009).
Menurut Ditjennak, Peningkatan konsumsi susu nasional tidak diimbangi dengan peningkatan produksi susu nasional. Dimana konsumsi susu masyarakat Indonesia terus meningkat dari 883.758 ton pada tahun 2001 menjadi 1.758.243 ton pada tahun 2007 atau terjadi peningkatan sebesar 98.9% selama kurun waktu 6 tahun dan diprediksikan akan terus meningkat pada tahun-tahun selanjutnya. Produksi susu yang tidak berkembang tersebut dapat kita lihat dari jumlah populasi sapi yang relatif tetap (stagnant), bahkan produksi dan produktivitas susu menunjukkan trend yang menurun dari tahun ke tahun akibat terbatasnya kemampuan produksi susu nasional. Oleh karena itu, pemerintah melakukan impor susu dari beberapa negara pengekspor susu antara lain Australia, Perancis dan Selandia Baru.
Secara umum, peternakan sapi perah di Indonesia telah dimulai sejak abad ke-19 yaitu dengan pengimporan sapi-sapi bangsa Ayrshire, Jersey, dan Milking shorthorn dari Australia. Pada permulaan abad ke-20 dilanjutkan dengan mengimpor sapi-sapi Fries-Holand (FH) dari Belanda. Sapi perah yang dewasa ini dipelihara di Indonesia pada umumnya adalah sapi FH yang memiliki produksi susu tertinggi dibandingkan sapi jenis lainnya (Sudono, 1999). Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 751/kpts/Um/10/1982 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri, usahatani sapi perah dibagi menjadi dua bentuk. Pertama, peternakan sapi perah rakyat yaitu usaha tani sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran. Kedua, perusahaan peternakan sapi perah, yaitu usaha ternak sapi perah untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki lebih dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih dari 20 ekor sapi perah campuran.
Pengembangan sektor peternakan khususnya usaha ternak sapi perah di Indonesia saat ini perlu dilakukan karena kemampuan pasok susu peternak lokal saat ini baru mencapai 25 persen sampai 30 persen dari kebutuhan susu nasional (Direktorat Jenderal Peternakan, 2007). Besarnya volume impor susu menunjukkan prospek pasar yang sangat besar dalam usaha peternakan sapi perah untuk menghasilkan susu sapi segar sebagai produk substitusi susu impor.
Meningat kondisi geografis, ekologi dan kesuburan lahan di beberapa wilayah Indonesia memiliki karakteristik yang cocok dalam pengembangan peternakan sapi perah (agribisnis persusuan) serta besarnya kekurangan susu dalam negeri, sebenarnya banyak sekali kerugian yang diperoleh Indonsia akibat dilakukannya kebijakan impor susu. Diantaranya adalah terkurasnya devisa nasional, tidak dimanfaatkannya potensi sumber daya manusia yang ada khususnya masyarakat pedesaan untuk pengembangan agribisnis persusuan, dan hilangnya potensi pendapatan yang seharusnya diperoleh pemerintah dari pajak apabila agribisnis persusuan ini dikembangan secara baik.
Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2007), perkembangan ekspor susu olahan dan impor susu bubuk (Skin Milk Powder-SMP) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari tahun 2003-2006, volume ekspor dan produk susu olahan tertinggi dicapai pada tahun 2003 sebesar 49.593.646 kg dengan nilai US $54.830.373. Sedangkan, volume impor tertinggi juga dicapai pada tahun 2005 sebesar 173.084.444 kg dengan nilai US $399.165.422. Dari angka tersebut, terlihat bahwa volume impor susu jauh lebih besar daripada volume ekspornya. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi perkembangan peternakan sapi perah di Indonesia masih jauh dari target.
Pada waktu penulis mengadakan survei lapangan untuk penelitian, penulis menyempatkan diri untuk dapat berbincang-bincang dengan Ketua Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU) yang juga menjabat sebagai Ketua Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) di Lembang. Dari hasil pembicaraan tersebut, harga susu lokal (nasional) yang dijual kepada Industri Pengolah Susu (IPS) per liternya pada tahun 2008 sebesar Rp 3.400, sedangkan harga susu impor mencapai Rp 4.000-5.000 per liternya. Di tahun yang sama, IPS juga tetap menuntut penurunan harga beli susu di tingkat peternak dan koperasi, bahkan sejak Desember 2008 harga pembelian susu oleh IPS sudah turun, tutur Ketua KPSBU. Harga susu impor dapat menjulang tinggi karena pengaruh dari krisis ekonomi global yang terjadi sepanjang tahun 2008 lalu. Hal ini membuat pemerintah menghapus tarif impor susu sebagai “Program Stimulus Fiskal” untuk mengatasi masalah tingginya harga susu di tingkat konsumen serta dan juga ditujukan untuk membuat industri pengolah susu (IPS) tetap mampu bertahan dalam kondisi krisis keuangan global(1).
Peraturan mengenai penghapusan tarif impor susu (sebesar 5%) tersebut diterbitkan Departemen Keuangan berdasarkan Permenkeu No. 145/PMK.011/2008 tentang Bea Masuk Ditanggung Pemerintah Atas Impor Barang dan Bahan oleh Industri Pengolahan Susu untuk Tahun Anggaran 2008, dengan nilai Rp 107 milyar untuk periode November-Desember 2008. Sementara pada 2009, kebijakan ini tetap dilanjutkan sesuai dengan UU No. 41 tentang APBN tahun 2009, untuk sektor industri yang membutuhkan dalam rangka daya saing industri yang bersangkutan(1). Kebijakan yang bertujuan untuk melindungi IPS tersebut diduga memiliki efek negatif terhadap para produsen susu lokal. Penurunan tarif impor susu dari luar negeri diduga berpengaruh kuat terhadap posisi tawar koperasi peternak susu dengan IPS, sehingga akan menyebabkan turunnya harga beli dari IPS yang berdampak merugikan para peternak sapi perah lokal.
Berdasarkan pengamatan lapangan yang dilakukan oleh penulis di wilayah kerja Koperasi Peternak Susu Bandung Utara (KPSBU), Lembang, usaha agribisnis persusuan di Indonesia didominasi oleh skala kecil dengan kepemilikan ternak sapi laktasi kurang dari empat ekor (80%), skala menengah dengan kepemilikan ternak sapi laktasi antara empat sampai dengan 10 ekor dan skala besar dengan kepemilikan ternak sapi laktasi lebih dari 10 ekor.
Menurut Firman (2007), seiring dengan perkembangan waktu, perkembangan agribisnis persusuan di Indonesia dibagi menjadi tiga tahap perkembangan, yaitu Tahap I (periode sebelum tahun 1980) disebut fase perkembangan sapi perah, Tahap II (periode 1980-1997) disebut periode peningkatan populasi sapi perah, dan Tahap III (periode 1997-sampai sekarang) disebut periode stagnasi. Stagnasi tersebut menyebabkan sampai saat ini Indonesia belum mampu untuk memenuhi kebutuhan susu dalam negeri. Hal ini terjadi akibat banyaknya kendala dalam melakukan pengembangan usaha ternak sapi perah seperti keterbatasan modal, tingginya harga pakan konsentrat, keterbatasan sumber daya dan juga lahan untuk penyediaan hijauan, minimnya rantai pemasaran susu. Hal lain yang menjadi kelemahan dalam usaha ternak sapi perah adalah terbatasnya teknologi pengolahan kotoran hewan ternak saat ini yang menyebabkan pencemaran lingkungan di sekitar area peternakan sapi perah seperti air sungai, selokan dan sebagainya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa peran serta pemerintah sangat diperlukan. Penulis berusaha merancang 14 (empat belas) program strategis yang dapat dikembangkan oleh pemerintah, yaitu:
- Pengusahaan kredit sapi perah dengan bunga yang minim untuk meringankan para peternak,
- Mengembangkan bibit sapi perah yang unggul dan berkualitas untuk meningkatkan produktivitas susu,
- Mensubsidi biaya kesehatan hewan dan jasa dokter hewan kepada peternak sapi perah,
- Membuat pabrik pakan tersendiri yang khusus untuk memproduksi pakan konsentrat hewan ternak dengan harga yang dapat dijangkau oleh peternak skala kecil, menengah dan besar,
- Mengadakan pelatihan pengolahan kotoran hewan ternak agar dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan tidak mencemari lingkungan,
- Mengatur kebijakan perdagangan yang lebih transparan terhadap pajak bea masuk susu impor agar dapat melindungi harga susu domestik,
- Membuat Industri Pengolah Susu (IPS) Nasional agar peternak tidak harus menjual susunya kepada pihak swasta dan juga dapat memberikan keuntungan yang maksimal dari hasil penjualan susu per liternya,
- Merangkul Koperasi Susu dan Industri Pengolah Susu (IPS) besar seperti PT. Frisian Flag Indonesia, PT. Ultra Jaya, PT. Indomilk dan sebagainya dalam rangka penetapan harga beli susu yang lebih jujur, adil dan bijaksana,
- Melakukan pengontrolan secara berkala terhadap Industri Pengolah Susu (IPS) dalam hal rasio penggunaan bahan baku susu lokal dan impor,
- Menciptakan brand susu nasional yang berkualitas dengan harga yang mudah dijangkau oleh masyarakat kecil maupun menengah dengan sistem penjualan direct-selling maupun door to door,
- Memberikan subsidi khusus kepada peternak agar masyarakat mulai tertarik untuk memulai usaha ternak agribisnis sapi perah dalam meningkatkan volume produksi susu nasional,
- Memberikan proteksi nasional secara khusus terhadap banjirnya produk impor akibat perdagangan bebas
- Mengatur kebijakan bea masuk (tarif impor) yang lebih prospektif untuk menghindari persaingan harga susu impor dan nasional,
- Membuat program khusus minum susu secara nasional “Satu Hari Satu Gelas” untuk meningkatkan nilai gizi masyarakat Indonesia
Semoga dengan dikembangkannya ke-14 (empat belas) program strategis diatas, penulis berharap dapat membantu para perumus kebijakan pemerintah dalam meningkatkan ekonomi lokal terhadap efisiensi usaha dan daya saing komoditi susu nasional di era globalisasi ini.
Penulis juga sangat mendukung Program Kerja 100 hari Pemerintah untuk segera menggenjot revitalisasi industri dalam kerja lima tahun kedepan. Hal ini diharapkan sektor industri peternakan sapi perah dapat menyerap cukup banyak lapangan pekerjaan sekaligus mengurangi tingkat pengangguran. Selain itu, pemerintah diminta untuk lebih mendorong pemberdayaan industri hilir (up-stream) atau pengolahan yang yang berbasis pada sumber daya lokal khususnya agribisnis persusuan karena jika difasilitasi dengan baik, maka kita dapat memenuhi permintaan susu dalam negeri secara maksimal tanpa harus bergantung dengan produk susu impor yang harganya terkadang lebih murah dari harga susu nasional(2).