Belum lama ini kita mendengar berita adanya sebuah peternakan ayam yang ‘dibongkar paksa’ oleh warga masyarakat. Tuntutan warga dilatar belakangi karena dampak yang ditimbulkan peternakan ayam tersebut seperti menimbulkan polusi udara (bau yang menyengat). Bahkan wargapun beralasan takut tertular flu burung karena peternakan tersebut berada di tengah pemukiman warga.
Permasalahan-permasalahan tersebut setidaknya kembali menyadarkan kita, sejauh itukah potret peternakan kita? Sejelek itukah sehingga peternakan ayam (Baca: Perunggasan) harus dibongkar? Seburuk itukah image peternakan nasional kita?. Padahal Peternakan ayam (perunggasan) merupakan sektor peternakan yang sangat berperan penting dalam pembangunan sebuah bangsa. Fungsi perunggasan sebagai penyedia protein asal hewani dan penghasil devisa negara menjadi alasan mendasar bahwa perunggasan merupakan sektor yang cukup menjanjikan. Bahkan peternakan merupakan sektor yang cukup riil dalam pembangun bangsa. Hampir diseluruh daerah di Indonesia kita temukan peternakan, baik peternakan yang berskala kecil maupun peternakan yang berskala besar. Bahkan menurut menteri pertanian (Mentan) Anton Apriyantono sub sektor peternakan telah menjadi salah satu sumber pertumbuhan yang tinggi disektor pertanian. Sejak tahun 2003 sub sektor ini telah mampu bangkit dari terpaan krisis tahun 1998-1999.
level produksi seluruh komoditas peternakan sudah melampaui level tertinggi periode sebelum krisis. Kemampuan peternakan untuk eksis dalam menghadapi badai krisis ekonomi ini dapat pula dilihat pada tahun 2000-2003, laju peningkatan produksi ayam broiler dan petelur berturut-turut mencapai 23,4 dan 10,27 persen pertahun, padahal saat krisis ekonomi pernah mengalami penurunan yang sangat tajam, yaitu masing-masing 28,23 dan 8,92 persen per tahun.
Selain itu, peternakan juga berperan dalam menyediakan dan membuka lapangan pekerjaan kepada 2,54 juta masyarakat Indonesia yang bekerja disektor ini, yang tersebar baik dipedesaan maupun di perkotaan, sehingga dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan yang menurut Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2006 naik 3,95 juta menjadi 39,05 juta (17,75%) dibandingkan data Februari 2005 sebesar 35,10 juta (15,97%). Bahkan, sektor peternakan merupakan sektor yang mampu menghasilkan kebutuhan protein hewani, yang berperan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Produk-produk peternakan seperti misalnya Telur, susu dan daging mempunyai kandungan nutrisi sebagai sumber protein dengan komposisi asam amino essensial yang dibutuhkan tubuh, terutama perkembangan otak manusia yang keberadaannya tidak dapat digantikan (selain dengan produk perikanan seperi udang, ikan). Apalagi konsumsi ayam masyarakat Indonesia masih sangat rendah hanya sekitar 4,4 kg/kapita/tahun dibandingkan dengan Philipina 8 kg/kapita/tahun, Thailand 15 kg/kapita/tahun dan Singapura 28 kg/kapita/tahun serta Malaysia hingga mencapai 36 kg/kapita/tahun. Sehingga perlu adanya upaya peningkatan konsumsi jika negara ini ingin mencapai tujuan (cita-citanya) sesuai amanat pembukaan UUD 1945 yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Membangun Image
Dalam membangun peternakan, upaya membangun image sangat diperlukan. Hal ini tentunya dilakukan dan dilaksanakan oleh semua stacholder peternakan. Pembangunan ini setidaknya meliputi beberapa hal, yakni peningkatan mutu dan produktifitas ternak, perubahan manajemen peternakan dan menjaga aspek kesehatan ternak (hewan). Dalam manajemen peternakan, aspek perencanaan sangat menentukan. Pemilihan lokasi kandang usahakan tidak terlalu dekat dengan pemukiman penduduk. Terapkan biosecurity dan biosafety dalam sebuah peternakan. Juga dalam mencari karyawan (anak kandang) usahakan untuk merekrut warga yang tempat tinggalnya berada disekitar area peternakan.
Bahkan terkait dengan aspek kesehatan ternak, peran dokter hewan sebagai medis veteriner menjadi poin penting dalam pembangunan peternakan. Dalam menangani kasus penyakit ternak (hewan) terutama yang dapat menular kemanusia atau sebaliknya (zoonosis) seperti flu burung, antrax dan lain sebagainya, dokter hewan harus menjadi garda terdepan. Kewenangan dokter hewan sebagai pemegang teguh otoritas veteriner harus benar-benar dioptimalkan. Jika tidak, maka wajar saja jika penyakit ternak selalu bermunculan dan kejadiannya berulang disetiap waktu. Bahkan hal ini dapat menjadi bahaya laten (tersembunyi) yang suatu saat siap menghantui (merebak).
Selain itu, penanganan penyakit ternak yang tidak pernah tuntas telah mengakibatkan kerugian ekonomi yang cukup besar. Bahkan Berdasarkan hasil The Intergovermental Group (IGG) On Meat and Dairy Product yang diadakan di Roma tahun 2002, akibat letupan epidemi trans-boundary penyakit ternak menimbulkan kerugian dana dan ekonomi yang sangat besar baik di negara maju maupun negara berkembang. Ada 2 faktor utama penyebab besarnya kerugian tersebut, yaitu (a) Variasi kejadian dan penyebaran penyakit yang dipengaruhi oleh keganasan dan tingkat spesifikasi species penyakit, akan menunjukkan perluasan dampaknya terhadap sektor-sektor lainnya, (b) Kecepatan dan tipe ukuran pengawasan yang diterapkan. Umumnya negara-negara yang mengalami kerugian berlanjut adalah negara-negara yang tidak mendeteksi penyakit tersebut beberapa saat dan begitu terdeteksi sedangkan sumber dana dan sumber lainnya belum disediakan, maka penyebarannya akan sulit dikendalikan.
Perlunya Siskeswannas Tangguh
Melihat kondisi diatas maka diperlukan sebuah sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) yang tangguh, baik dalam tataran konsep maupun implementasi di lapangan. Siskeswannas yang mampu melindungi peternakan nasional dari ancaman penyakit ternak dan juga mampu melindungi negara dari ancaman penyakit zoonosis. Sistem ini perlu ditopang dengan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai dan juga aturan/policy yang mendukung. Dengan SDM (dokter hewan/paramedis kesehatan hewan) yang memadai baik ditingkat pemerintah pusat maupun daerah diharapkan pelaksanaan proses pencegahan, pemberantasan maupun pengendalian penyakit ternak dapat dilaksanakan dengan baik. Selain SDM yang memadai, juga diperlukan aturan / policy yang mendukung sistem tersebut. Aturan yang sekarang ada (UU No. 6/ 67) kurang mendukung kesempurnaan pelaksanaan siskeswannas. Ada hal-hal penting yang belum termaktub dalam UU No. 6/67. Sebagai contoh, belum adanya sanksi bagi oknum yang melakukan pelanggaran dalam pelaksanaan siskeswannas. Bahkan sejak aturan otonomi daerah dilaksanakan bukan perbaikan pelaksanaan siskeswannas yang dihasilkan. Tetapi sebaliknya, pelaksanaaan siskeswannas menjadi tidak terarah. Hal ini disebabkan di beberapa daerah tidak ada lagi instansi yang memiliki fungsi pelayanan keswan. Selain itu juga ditemukan arogansi pemerintah daerah dalam penanganan wabah penyakit yang menyerang peternakan.
Perlu ada aturan baru yang mampu meningkatkan kesempurnaan pelaksanaan siskeswannas. Pada revisi UU No. 6/ 67 yang sekarang masih dalam tahap penyempurnaan, aturan yang mengatur mengenai penanganan kesehatan hewan (siskeswannas) sudah mengalami banyak kemajuan. Hal ini tentunya menjadi hal yang positif bagi pembangunan peternakan dan keswan nasional.
Publick Relation (PR) Peternakan
Selain upaya tersebut, dibutuhkan pula adanya sebuah Publick Relation (PR) Peternakan. Hal ini sebagai upaya untuk menyadarkan masyarakat tentang peran pentingnya untuk mengkonsumsi pangan asal produk peternakan. Selama ini stackholder peternakan cenderung mengkampanyekan dan menyadarkan baru sebatas penawaran produk dari masing-masing perusahaan. Belum ada upaya penyadaran untuk pentingnya mengkonsumsi protein atau pangan produk asal peternakan. Sehingga masyarakat hanya sebatas melihat produknya saja, tanpa melihat arti penting jika nutrisi tersebut dipenuhi atau konsekuensinya jika tidak dipenuhi. Jadi, selama peternakan masih belum mampu untuk menyadarkan arti pentingnya mengkonsumsi produk peternakan tersebut, maka masyarakat tetap menganggap pangan produk peternakan sebagai makanan sambilan yang tidak harus dipenuhi.
Dengan demikian, peternakan perlu dan sangat membutuhkan Publick Relation (PR), PR yang dilakukan bukan hanya sebatas mendirikan Humas Departemen saja atau hanya pada saat ada kasus-kasus peternakan saja (seperti kasus Flu Burung, Antrax dll) tetapi PR harus dilaksanakan secara kontinu. Sehingga dengan adanya PR tersebut membantu pihak luar sektor peternakan untuk memahami kedudukan peternakan secara proporsional dan kontekstual, dan sepakat bahwa subsektor peternakan itu, tetap jadi unggulan!
Oleh : IWAN BERRI PRIMA
Ketua Umum IMAKAHI periode 2006-2008