Teguran-Nya

Satu dekade lalu, saat membangun Dompet Dhuafa (DD) Republika bersama mas Erie Sudewo dan kawan-kawan saya terbiasa berangkat pagi pulang larut malam. Kami ingin membuktikan bahwa organisasi nirlaba Indonesia bisa dikelola profesional dan diakui dunia. Saya sangat menikmati pekerjaan itu.

Begitu asyiknya sampai kemudian anak pertama saya Nadhira Arini Nur Imamah (Dhira) protes. Saat saya berulang tahun ke-35 [9 Agustus 2003] Dhira menghiba, “Bapak menjadikan rumah hanya sebagai hotel, hanya tempat menginap. Berangkat sebelum kami bangun, pulang setelah kami tidur. Bapak sudah bukan milik kami lagi. Bapak milik banyak orang.”

Mendapat protes sayapun berkonsultasi dengan guru kehidupan saya, Profesor Dr KH Didin Hafidhuddin, MS. Saat itu beliau menjawab singkat, “Jamil, hidup jangan seperti lilin, mampu menerangi sekitarnya tapi dirinya musnah. Jangan sampai kau memberi manfaat banyak kepada masyarakat tapi keluargamu berantakan.”

Saya perlu waktu mencerna pesan itu. Hati saya bergejolak dan berkata, “Saya kan berjuang untuk keluarga dan juga rakyat, kenapa ditegur, kenapa dimarahin.” Saya terus melakukan aktivitas seperti biasa. Teguran itu tak membuat saya bergeming.

Akhir September 2003 istri saya yang sedang hamil 7 bulan masuk rumah sakit. Ia berpindah hingga 3 rumah sakit. Di rumah sakit terakhir, istri saya harus dirawat di ruang ICU. Sayapun harus selalu stand by menunggu di rumah sakit tidak boleh pergi kemana-mana. Sebuah pengalaman yang menyiksa…

Minggu, 19 Oktober 2003, lahirlah anak saya yang ke-4 Muhammad Zulfikar Abdurrahman. Sehari-hari kami memanggilnya Izul atau Fikar. Ia lahir dengan fisik sempurna namun respon terhadap dunia luarnya lambat. Bahkan sampai usia 3 tahun Fikar tak bisa bicara. Salah satu bentuk terapinya adalah Fikar harus sering dipeluk, digendong dan diajak interaksi. Dan untuk menyembuhkannya, harus sering diajak bermain, bicara, dipeluk serta mendapat perhatian penuh dari orang tuanya.

Saya bertekad agar Fikar bisa bicara dan tumbuh normal. Maka sejak saat itu, saya berusaha lebih sering bermain dengan anak-anak saya. Bila pekerjaan kantor usai saya langsung pulang ke rumah untuk berkumpul dan bermain dengan anak-anak saya, khususnya Fikar. Ternyata, saya merasakan kenikmatan baru. Saya merasakan kebahagiaan hidup yang semakin bertambah. Hidup saya semakin bergairah dan bersemangat.

Melalui Fikar Allah kirimkan teguran kepada saya. Ya, setelah ditegur Dhira dan guru kehidupan saya tidak bergeming, Allah lalu mengirimkan Fikar. Dia seperti berpesan, “Keluargamu perlu perhatianmu. Keluargamu perlu cinta kasihmu. Keluargamu perlu perhatianmu. Keluargamu merindukan bermain-main denganmu. Keluargamu perlu pelukan mesra darimu.”

Terima kasih ya Allah. Terima kasih Fikar. Tidak terasa hari ini usiamu genap 8 tahun. Selamat ulang tahun, nak. Bapak sayang dan bangga kepadamu. I love you…

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.