Pemberdayaan adalah sebuah kata yang sering kita dengar dan bahkan mungkin menjadi salah satu aktifitas keseharian kita. Namun masih menjadi pertanyaan kita, apa sebenarnya pemberdayaan itu? Atau bagaimana seharusnya pemberdayaan dilakukan? Atau apakah aktifitas yang kita lakukan sudah terkategori pemberdayaan ataukah belum? Dan sederet pertanyaan lain yang menggelayuti benak kita.
Selama ini, yang terbayang dalam benak kita yang disebut sebagai pemberdayaan adalah sebuah aktifitas yang dilakukan untuk meningkatkan ‘keberdayaan’ dari obyek yang kita ingin berdayakan. Salah satu tolok ukur yang sering kita pakai adalah meningkatnya keberdayaan ekonomi dari obyek atau dari masyarakat sasaran yang selama ini kita berdayakan. Jika masyarakat yang kita berdayakan memperoleh peningkatan pendapatan ekonomi dalam skala tertentu dan dalam masa tertentu selama proses pemberdayaan yang kita lakukan dengan segala sumber daya yang kita berikan, maka secara umum akan dikatakan kepada kita bahwa kita berhasil melakukan pemberdayaan masyarakat.
Sebagai misal, kita memberdayakan masyarakat peternak dengan penghasilan peternak sebesar Rp25 ribu per bulan sebelum kita masuk. Dan setelah kita lakukan pemberdayaan selama dua tahun dengan menggunakan sumberdaya modal pengadaan ternak, pakan ternak, kandang, dan dana pendampingan Rp500 juta maka masyarakat mendapatkan penghasilan sebesar Rp400 ribu per bulan dari usaha ternak. Maka bisa dikatakan kita berhasil memberdayakan peternak sehingga mengalami peningkatan pendapatan ekonomi dari Rp25 ribu menjadi Rp400 ribu dan kita menjadi agen pemberdayaan yang berhasil.
Pemberdayaan adalah sebuah aktifitas ‘perubahan’ dari satu kondisi awal menjadi kondisi yang diinginkan oleh pihak pemberdaya. Perubahan yang dimaksudkan adalah perubahan sesuai standar perubahan yang ditetapkan sebelum menjalankan proses pemberdayaan oleh pihak pemberdaya. Perubahan yang dimaksud tidak hanya perubahan yang bersifat materi dan dapat diukur seperti perubahan pendapatan, akan tetapi termasuk juga perubahan non materi yang akan sangat sulit untuk diukur. Seperti perubahan pola pikir, perubahan perilaku, perubahan pergaulan, perubahan kemampuan berbicara dan sebagainya yang semua itu tidak bisa terukur secara fisik.
Selain itu penentuan apa yang disebut berdaya dan tidak berdaya juga sangat bervariasi tergantung pihak yang menginginkan pemberdayaan dilakukan. Sebagai misal, pada masyarakat peternak yang selama ini hidup dengan memelihara lima ekor ternak kambing adalah sebuah kebiasaan masyarakat dan tidak ada seorangpun dimasyarakat tersebut yang mempermasalahkan, karena selama ini memelihara ternak kambing adalah aktifitas menabung untuk keperluan yang tidak terduga seperti untuk menyekolahkan anak, keperluan berobat, hajatan dan berbagai kegiatan yang memerlukan dana agak besar.
Namun ketika hal ini dilihat oleh seorang pengusaha peternakan, maka memelihara lima ekor ternak kambing adalah sebuah usaha yang tidak menguntungkan bahkan secara hitungan termasuk usaha merugi. Dengan kondisi ini, maka dari sudut pandang seorang pengusaha peternakan, pemberdayaan harus dilakukan dengan tujuan merubah usaha merugi tersebut menjadi usaha menguntungkan dari sektor peternakan dengan meningkatkan jumlah ternak atau dengan meningkatkan efektifitas usaha sehingga peternak akan berubah dari usaha ’menabung’ menjadi usaha ‘menghasilkan pendapatan rutin’. Sehingga tolok ukur yang dipakai untuk menghitung keberhasilan pemberdayaan adalah peningkatan pendapatan peternak, perubahan standar, dan sudut pandang inilah yang akan dijadikan standar penilaian.
Perubahan standar dan perubahan sudut pandang inilah yang terjadi ketika terjadi ‘transfer nilai’ dari agen pemberdayaan kepada masyarakat sasaran, baik disadari maupun tidak oleh kedua belah pihak. Transfer nilai inilah yang sesungguhnya menjadikan ‘perubahan’ terjadi dan manjadi tolok ukur keberhasilan pemberdayaan, sedangkan perubahan yang dijadikan sebagai tolok ukur pemberdayaan selama ini adalah output dari pemberdayaan yang terjadi.
Dalam proses pemberdayaan, standar yang sering dilupakan adalah transfer nilai ini sebagai hasil dari proses yang dilakukan dan memang akan sangat sulit mengukurnya karena inilah kualitas dari pemberdayaan. Sedangkan output yang selama ini dijadikan standar keberhasilan pemberdayaan adalah standar kuantitas karena ‘memang’ mudah untuk diukur dan dievaluasi. Secara umum, penilain proses jarang dilakukan oleh agen pemberdayaan manapun karena ‘nilai’ yang akan di transfer ke masyarakat sasaran sangatlah bervariasi tergantung agen pemberdayaan tersebut. Hal ini karena memang masing-masing agen pemberdayaan memiliki nilai yang berbeda yang hendak mereka sebarkan di masyarakat sasaran.
Oleh karena itu, sebagai salah satu agen pemberdayaan yang membina masyarakat maka sudah seharusnya kita merumuskan nilai yang hendak di transfer kepada masyarakat dan bukan hanya melakukan proses pemberdayaan tanpa memahami misi sesungguhnya dari proses pemberdayaan yang dilakukan. Selain itu kita jangan ‘terperangkap’ dengan tolok ukur output yang ditetapkan untuk memudahkan penghitungan keberhasilan dan evaluasi dari proses pemberdayaan. Sebagai misal, pengusaha peternakan yang menginginkan peningkatan jumlah pemeliharaan ternak kambing dari 5 ekor menjadi 20 ekor per orang maka harus memperhatikan ‘perubahan kesadaran’ masyarakat akan lebih baiknya penghidupan dengan memelihara ternak lebih banyak sehingga suatu saat apabila pengusaha peternakan tersebut sudah tidak lagi bersama mereka, akan tetap terpelihara ternak dalam jumlah besar oleh peternak.
Karena perubahan akan terjadi ketika masyarakat sasaran menginginkan perubahan terjadi, sedangkan agen pemberdayaan sebagai pendatang dan bukan bagian dari masyarakat secara permanen hanyalah sebagai katalis perubahan, yaitu membangkitkan kesadaran perubahan di masyarakat kemudian mengarahkan kemana perubahan tersebut akan dituju. Penanaman kesadaran perubahan tersebut harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses pemberdayaan yang dilakukan dan harus membekas di benak masyarakat, sehingga ketika agen perubahan meninggalkan masyarakat akan tetap terjadi perubahan di masyarakat yang semakin membesar bagaikan bola salju yang menggelinding dan semakin membesar.
Dengan menentukan nilai yang akan ditransfer sebelumnya menjadi penentu arah perubahan yang dituju sehingga akan menimimalkan terjadinya perubahan masyarakat kearah yang tidak diinginkan, karena apabila perubahan sudah terjadi di masyarakat maka akan sangat sulit untuk merubahnya apalagi menghentikan kehendak perubahan tersebut.
Demikianlah beberapa persepsi umum yang kita pahami tentang pemberdayaan masyarakat. Namun masih menjadi tugas bagi kita untuk merumuskan sesunggguhnya pemberdayaan seperti apa yang paling baik dan efektif untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat sasaran kita. Selain itu adalah tugas kita bersama mengawal perubahan yang terjadi di masyarakat, sehingga kita sebagai agen pemberdayaan juga harus senantiasa menjaga nilai yang kita transfer ke masyarakat menjadi bagian tak terpisahkan dari diri kita. Dengan kata lain, selain merubah masyarakat kita harus merubah diri kita kearah yang yang lebih baik dari kondisi kita saat ini. Karena kondisi masa depan harus lebih baik dari kondisi sekarang, semoga terwujud. [Soleh Amin]