Oleh : Yayan Rukmana (Direktur Kampoeng Ternak)
Isu kelangkaan dan kenaikan harga daging kerap terjadi di negeri ini. Betapa tidak hampir disetiap hari raya kurban dan idul fitri, bisa dipastikan kondisi kelangkaan terjadi. Karena kekurangan pasokan ternak sapi yang siap potong, juga diakibatkan permainan “bandar/ tengkulak” menyebabkan kenaikan drastik harga daging dipasaran. Menurut ilmu ekonomi, hal ini sesuatu yang wajar karena bila persedian barang terbatas, maka permintaan semakin tinggi akibatnya harga melonjak.
Bisa dibayangkan masyarakat yang ingin mengkonsumsi protein hewani ini, lebih banyak keluar koceknya. Namun perlu diingat bahwa daging sapi selama ini segmentasi pasar kelas menengah ke atas, sehingga relatif fluktuasi harga tidak terlalu berimbas kepada permintaan. Yang penting untuk diperhatikan adalah kebutuhan daging yang digunakan untuk usaha kecil dan mikro. Mereka adalah para pedagang mie bakso keliling-tongseng-sate keliling dan sebagainya. Dampak secara langsung dengan modal yang sangat terbatas maka para pedagang mie bakso, tidak bisa memenuhi bahan baku pokoknya karena naiknya harga barang tersebut. Padahal usaha mikro inilah yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional saat krisis. Kenaikan harga daging akhirnya berdampak pada lonceng mati surinya usaha bakso dan usaha pengolahan makan daging. Sedih bagi kita, bila saudara pedagang bakso keliling tidak bisa jualan karena mahalnya bahan baku.
Disisi lain, kenaikan harga daging dipasaran seharusnya disambut gembira oleh peternak. Tentunya, keuntungan usaha ternak mereka lebih besar. Apakah demikian yang terjadi?. Ternyata kenyataanya tidak. Karena bagi peternak kecil mereka awam informasi harga pasar, mereka bisa jadi menikmati keuntungan yang tetap. Bandar atau Belantik lah yang menguasai tata niaga pasar. Al hasil tentu permainan mereka lebih pintar dalam mengendalikan harga pasar. Targetnya keuntungan besar bagi segelintir pengusaha. Hal yang wajar dalam bisnis, namun miris efeknya bagi ekonomi daging di negeri ini.
Inilah urgensi negara mengatur kebijakan yang tepat bagi pengembangan peternakan di Indonesia. Supaya tidak salah langkah ambil kebijakan. Seolah olah lebih mendramatisir-kondisi kelangkaan dan kesusahan maka kebijakan yang dikeluarkan adalah just “impor daging” dari negara asing . Kebijakan yang ibarat “telaga di padang pasir”, solusi pragmatis namun mematikan perkembangan usaha ternak rakyat. Bisa tergambar keuntungan dinikmati oleh pengusaha importir besar dan negara asing senang dengan kondisi ini.
Negara seharusnya berupaya fokus dalam pengembangan peternakan nasional. Keberpihakan pemerintah dalam peningkatan produksi ternak, penyediaan bibit unggul, manajemen kesehatan ternak dan pakan serta teknologi dan infrastuktur yang memadai. Dukungan kebijakan ini, prioritas untuk peternak kecil, yang mayoritas mereka di kerak kemiskinan. Untuk itu upaya pemberdayaan peternak kecil melalui pendampingan adalah solusinya. Pemberian bantuan modal ternak dalam bentuk Bank Ternak bisa digulirkan. Fungsi Bank Ternak tidak hanya penyaluran modal, namun upaya penigkatan skill dan membantu networking dalam pemasaran. Pemerintah bisa belajar dari lembaga amil zakat, dalam model penyaluran zakatnya kepada peternak seperti Kampoeng Ternak Dompet Dhuafa. Upaya ini adalah langkah strategis yang panjang dalam mengatasi krisis “daging” masa depan. Indonesia pasti bisa!